Pengikut

Senin, 08 Oktober 2012

Bisakah Indonesia Bertahan Tanpa Cina?

Reuters
Tambang batu bara di Berau, Kalimantan Timur. Penurunan permintaan batu bara Cina berdampak pada ekspor Indonesia.
BALIKPAPAN – Maskur, seorang awak kapal, sedang duduk-duduk di dermaga pelabuhan Semayang, Balikpapan, di pantai timur Kalimantan. Sambil mengupas mangga, ia merenungkan sebuah pertanyaan pelik. Berapa lama lagi Cina bisa pulih dari kelesuan ekonomi, dan kembali memborong batu bara Indonesia?
Sejak industri batu bara Indonesia melonjak tahun 2007, Maskur sudah beberapa kali keliling dunia sambil bekerja di kapal-kapal dagang. “Saya pernah ke Spanyol, Italia, Amerika,” kenangnya. “Paling sering sih ke Cina,” tambahnya. Tapi sekarang, ia tak lagi sering ke sana.
Indonesia adalah eksportir batu bara termal terbesar di dunia. Batu bara jenis ini adalah varietas low-grade yang dipakai sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga batu bara. Namun, seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina, daerah tambang batu bara di Kalimantan Timur dan lainnya mulai merasakan dampaknya.
Pertanyaan timbul: apakah booming belanja konsumen dalam beberapa tahun terakhir ini bisa mengimbangi kemerosotan permintaan batu bara, minyak sawit, dan komoditas ekspor lain? Bisakah kita terus-menerus menikmati booming ekonomi?
Sementara harga batu bara dunia telah jatuh sekitar 20% tahun ini. Dalam bisnis bermargin tipis ini, penurunan itu kian menambah tekanan. Pertambangan besi di Australia sudah memangkas anggaran belanja, karena harga bijih besi merosot seiring dengan penurunan permintaan dari Cina. Wilayah pertambangan batu bara Appalachia di Amerika Serikat (AS) juga menderita, karena harga batu bara top gradeyang ditambang di sana sudah terpapas separuhnya. Dari angka rekor $330 per ton pada awal 2011, ke sekitar $170 per ton saat ini. Oleh karena itu, perusahaan pertambangan terpaksa merumahkan ribuan pekerja. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan menyatakan pailit.
James Hookway/The Wall Street Journal
A coal conveyor belt stands idle in Indonesia’s East Kalimantan state. Normally thriving, Indonesia’s coal industry has been hit hard by a slow down in demand from China in recent months.
Di Indonesia, sebagai salah satu indikator utama bagaimana pengaruh kelesuan di Cina terhadap negara lain, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia menurunkan proyeksi produksi 2012 sebesar 13%. Akibatnya, pengiriman batu bara dari Balikpapan menurun tajam dalam beberapa bulan terakhir. Maskur dan rekan-rekannya sesama awak kapal Andhika terpaksa mengangkut semen. Kali ini, mereka hanya berlayar sampai Surabaya.
Kembali ke Kalimantan, Slamet Brotosiswoyo, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kalimantan Timur, merasa khawatir akan nasib 30.000 buruh yang berpotensi kehilangan pekerjaan akhir tahun ini. Perusahaan pertambangan kecil harus menutup sebagian operasional. Hal itu bisa meredam laju belanja konsumen, dan memaksa perusahaan pertambangan lain berpikir ulang tentang bagaimana mereka bisa mengolah batu bara dan menjual dengan harga lebih tinggi.
“Krisis finansial global 2008 itu bukan apa-apa. Bagi kami, yang penting adalah Cina,” kata Ferry Juliantono, Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia.
Para ekonom juga mulai menyuarakan peringatan. Kejatuhan nilai ekspor komoditas telah membuat defisit transaksi berjalan yang parah semakin parah. Hal ini bisa menambah beban pada rupiah, dan memicu inflasi. “Indonesia terlalu tergantung kepada siklus komoditas global dan pertumbuhan ekonomi Cina,” kata Prakriti Sofat, ekonom Barclays Capital di Singapura.
Sofat juga mencatat bahwa angka impor pun menurun, walaupun data terbaru itu bisa jadi terpengaruh oleh dampak bulan puasa Agustus lalu, saat impor merosot 24% dibanding setahun sebelumnya. Bagaimanapun, tren itu menandakan para pengusaha mulai bertindak hati-hati, dengan meredam impor barang-barang modal. Ini bisa menjadi peringatan awal bagi belanja konsumen, yang menggerakkan sekitar 60% ekonomi Indonesia.
Sementara itu, di jalanan ibu kota Jakarta, buruh berunjuk rasa memprotes upah minimum yang rendah serta menjamurnya tren pekerja kontrak untuk menggantikan karyawan tetap. Hal ini bisa mengakibatkan kesenjangan sosial yang semakin lebar—satu lagi isu hangat menjelang pemilihan presiden 2014.
Pemilu akan menjadi titik balik yang sangat penting. Setelah memikat investor dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia kini kembali disorot. Masih banyak pihak yang melihat Nusantara sebagai negara yang akan menjadi kekuatan ekonomi baru. Mereka memandang Indonesia sebagai negara demokratis yang pro-bisnis. Negara berpenduduk 240 juta ini juga dipandang memiliki pasar dalam negeri yang kuat. Selain ikatan dagang yang erat dengan Cina, pasar dalam negeri ini membantu menangkal dampak krisis ekonomi global 2008.
Reuters
Konstruksi terminal baru Bandara Sepinggan di Balikpapan, pusat booming batu bara di Kalimantan Timur.
Banyak bukti mendukung sudut pandang itu. Kota-kota kaya komoditas sumber daya alam seperti Balikpapan adalah salah satunya. Pusat perbelanjaan dan hotel berkualitas internasional menjamur di Balikpapan dan Samarinda. Semuanya adalah jawaban dari dahaga Cina akan komoditas mentah. Di Jakarta, jalanan penuh dengan mobil-mobil baru yang diborong kelas menengah. Indeks Harga Saham Gabungan melonjak 30% dalam setahun terakhir, sementara ekonomi menanjak mendekati batas $1 triliun per tahun dengan sektor jasa yang besar. Tahun 2011, ekspor komoditas termasuk bahan makanan menyumbangkan 68% dari total ekspor. Tapi, menurut McKinsey & Co, sektor itu hanya berkontribusi 19% terhadap total nilai ekonomi.
Luke Rowe, penasihat teknis di Jones Lang LaSalle, berkata tidak ada tanda-tanda gelembung atau bubble di pasar properti. Permintaan dari sektor komersial dan perumahan tetap tinggi, walaupun beberapa proyek terkesan terlalu ambisius, seperti rencana pencakar langit 101 lantai di Jakarta. Yang paling penting, tak seperti booming properti sebelumnya tahun 1990-an, bank lebih hati-hati memberikan kredit. “Mereka sudah jera,” ujar Rowe.
Di pertemuan regional di Phnom Penh, Kamboja, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan beberapa bulan lalu merangkum suasana ini dengan menggambarkan Indonesia sebagai “indescribably sexy story.
Tapi, agar kisah seksi itu bisa terus berlanjut, kalangan pebisnis harus bisa mencari cara tetap tumbuh saat Cina melemah. Menurut sebagian ekonom, generasi baru pemimpin Cina yang akan mulai berkuasa sebentar lagi – rapat-rapat soal transisi Cina ini akan dimulai 8 November – tidak terlalu memperhatikan angka pertumbuhan yang tinggi. Mereka lebih menyoroti kualitas pertumbuhan Cina. Ini bisa mendatangkan perubahan struktural di Negara Tembok Besar itu. Seperti halnya jumlah proyek listrik tenaga air dan gas di negara itu yang terus meningkat, perubahan tersebut bisa semakin menurunkan permintaan akan batu bara Indonesia.
Jadi untuk saat ini, sektor pertambangan Indonesia tengah mencari cara meningkatkan nilai batu bara yang diekspor. Pemerintah juga berperan dalam hal ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menerapkan peraturan baru yang melarang perusahaan batu bara mengekspor batu bara mentah pada 2014. Untuk bisa tetap mengekspor, pertambangan harus mengolah batu bara terlebih dulu, sehingga membantu meningkatkan nilai produksi batu bara Indonesia. Para pengusaha setempat melirik kilang minyak canggih milik PT Pertamina di Balikpapan sebagai contoh apa yang bisa dicapai industri batu bara.
“Industri batu bara harus mengikuti contoh itu,” kata Slamet Brotosiswoyo dari Apindo Kaltim, di sela-sela konferensi pertambangan di gedung hotel Novotel Balikpapan yang baru.
Sementara itu, bursa memperhatikan dengan seksama. Seiring dengan kemunduran potensi pemasukan, masalah-masalah baru bisa terungkap. Standard & Poor’s atau S&P telah menurunkan peringkat kredit perusahaan batu bara Bumi Resources, dari BB- ke B+ pada 26 September lalu. Beberapa hari sebelumnya, pemegang saham utama Bumi PLC mengumumkan investigasi tentang dugaan penyimpangan keuangan di anak usaha mereka di Indonesia. S&P mencatat bahwa pada saat yang sama, “laju pertumbuhan produksi dalam 12 bulan ke depan lebih lambat dari perkiraan kami sebelumnya.”
S&P juga menurunkan outlook Berau Coal Energy dari positif ke negatif, sementara Moody’s Investor Service pun menurunkan outlook Bumi Resources ke negatif.
Para analis batu bara global berkata penurunan harga batu bara dunia bisa membuat perusahaan asing yang ingin berinvestasi di Indonesia kehilangan minat. “Banyak kekhawatiran soal perubahan peraturan dan risiko regulasi lain di Indonesia,” kata Rohan Kendall dari konsultan energi Wood Mackenzie di Australia. “Pemerintah berusaha tampil nasionalis dengan mensyaratkan pengolahan batu bara di dalam negeri sebelum diekspor. Harga batu bara yang lemah juga kian memberatkan kecemasan itu.”
Di Samarinda, beberapa perusahaan pertambangan melihat keuntungan dari upaya meningkatkan nilai batu bara—kalau mereka bisa melakukannya.
Ayub Sudarsono adalah salah satu bos pertambangan setempat yang sedang menimbang pemakaian sistem pengolahan baru. Mesin-mesin baru itu dapat membuat batu bara setempat lebih padat, sehingga meningkatkan kandungan energinya sampai 20% atau bahkan lebih. Ayub, pria berjanggut berusia 52 tahun yang selalu tampak santai, berpikir bahwa pengolahan ini bisa meningkatkan kualitas batu bara Indonesia. Hasil olahannya bisa dipakai sebagai bahan bakar pabrik baja dan logam lain. Pabrik seperti itu memerlukan suhu lebih tinggi dari yang bisa dipasok oleh batu bara termal, yang lebih muda warnanya.
“Itu bisa membuka pasar lain bagi kami,” ujarnya.
Sebenarnya, kata Ayub, ia sempat berpeluang memakai sistem baru itu dua tahun lalu. Seorang pengusaha asal Inggris datang berkunjung, menawarkan mesin-mesin pengolah itu dengan harga $4 juta atau sekitar Rp 38 miliar lebih.
“Waktu itu, kami bisa saja membelinya, tapi kami kira itu belum perlu,” kata Ayub sambil tertawa. “Kalau Anda ketemu orang Inggris itu, bilang padanya kami tertarik sekarang.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar