Pengikut

Selasa, 02 Oktober 2012

My Entrepreneur Family : Berjibaku Merajut Kemakmuran

Fajar kebangkitan ekonomi negri ini mungkin akan terus berkibar-kibar dalam panggung ekonomi sejagat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia – setelah China. Dan ini dia : pada tahun 2030 size ekonomi Indonesia akan melesat dan nangkring pada peringkat 7 besar dunia.

Sebuah karnaval indah tentang kemakmuran mungkin akan terbentang, kalau saja prospek jos markojos itu juga disertai dengan kebangkitan masif barisan entrepreneur : mereka yang berjibaku menganyam nilai tambah demi ekonomi keluarga dan orang-orang di sekelilingnya.

Benar, laju pertumbuhan jumlah enterpreneur dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat. Beragam festival wirausaha datang siling berganti, mencoba menyapa angan dan impian jutaan anak muda negeri ini. Sayangnya, akselerasi pertumbuhan entrepreneur belum juga menemukan momentum yang dramatis.
Ada banyak faktor yang bisa disebut tentang kenapa laju dan akselerasi pertumbuhan jumlah entrepreneur di tanah air belum begi masif. Dunia pendidikan kita mungkin lebih banyak mengajarkan anak didiknya untuk menjadi job seekers, dan bukan job creators atau risk takers yang berani menjemput petualangan usaha yang berliku nan mendebarkan.

Faktor lain yang mungkin ikut berperan adalah faktor keluarga (family factor). Ada kecenderungan kuat dimana seseorang akan menjalani profesi seperti ayah, orang tua dan anggota keluarga di sekelilingnya.
Begitulah, jika ayahnya menjadi pegawai, maka anak-anaknya juga akan cenderung mengikuti langkah yang sama. Ayahnya dokter, biasanya anak-anaknya (setidaknya salah satunya) juga ada yang akan menjadi doker. Ayah atau ibunya dosen, maka anggota keluarganya juga akan mengikuti jejak yang sama. Memang benar pepatah yang berbunyi : buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya.

Hanya sayangnya, fakta diatas acapkali juga tak lepas dari “kemauan sang ayah”. Jika misalnya, si ayah pernah menjadi pegawai dan sukses menjadi manajer, maka biasanya ia juga akan mendorong anak-anaknya untuk mengikuti jejak dirinya, yakni bekerja menjadi pegawai dan meretas karir menjadi manajer di perusahaan besar (saya sering menemui kasus seperti ini pada sejumlah orang).
Dalam kultur keluarga semacam itu, yang mendorong anak-anaknya untuk menjadi pegawai seperti ayahnya (dan kemudian menikmati stabilitas ekonomi), maka biasanya akan sulit bagi si anak untuk mengambil risiko menjadi entrepreneur.

Dalam lingkungan keluarga yang tak terbiasa dengan petualangan usaha – dan telah terbiasa dengan kemapanan khas pegawai – maka pilihan anak untuk menjadi wirausaha menjadi sesuatu yang “agak terasa aneh”. Dan biasanya, meski tidak eksplisit, orang tua cenderung akan tidak sepenuh hati menyetujuinya.
Sebaliknya, anak-anak yang dibesarkan dalam kultur kemandirian usaha, dimana orang tuanya juga dulu berprofesi sebagai wirausaha/pedagang, maka transformasi karir anak-anaknya untuk menjadi entrepreneur akan berlangsung dengan lebih mulus. Saya beruntung dilahirkan dalam keluarga semacam ini.
Ibu saya memiliki darah yang pekat dengan kemandirian usaha. Ia sejak menikah dulu telah menjalani usaha produksi batik, dan hingga beberapa tahun silam, rajin ke Pasar Tanah Abang untuk menjajakan produksinya, door to door ke setiap toko yang ada di pasar itu.

Sementara ayah saya adalah “social entrepreneuer tulen” : ia sejak lama telah mewakafkan hidupnya untuk kegiatan sosial keagamaan (ia mendedikasikan hidupnya untuk mengelola Muhammadiyah Pekalongan, dan merupakan arsitek dibalik kebangkitan ormas itu untuk menjadi salah satu the best Muhammadiyah branch in Indonesia).

Dalam kultur keluarga semacam itu, yang praktis tidak pernah mengenal ritual berangkat ke kantor setiap hari pada jam yang sama, maka saya dan adik-adik saya jadi lebih memilih menjadi “free person” dan menjadi entrepreneur.

Saya adalah anak sulung dengan empat adik. Dan semuanya berketetapan hati menjadi wirausaha (beberapa pernah mencoba menjadi karyawan, namun kemudian semua resign lantaran ingin meniru ibunya yang dengan gigih mengajarkan arti kemandirian ekonomi).
Berikut sekilas perjalanan karir saya dan adik-adik saya, yang mungkin menjelaskan mengenai keberanian keluar dari comfort zone, dan merajut kemakmuran secara mandiri :

Yodhia Antariksa (saya sempat bekerja menjadi karyawan selama 6 tahun, sebelum resign dan membuka usaha dibidang konsultan manajemen SDM)
Aditya Samudra (sejak lulus langsung memilih menjadi wirausaha, sekarang menekuni bisnis penyediaan alat peraga pendidikan)
Astrea Kejora (sempat bekerja di Bank Syariah Mandiri selama 12 bulan, resign, dan kini punya usaha bagus dibidang pembuatan perban/pembalut kassa).
Adhika Dirgantara (sempat bekerja di Pfizer selama 3 tahun, resign, dan kini punya usaha top dibidang penjualan emas batangan secara online)
Adhigama Gurun (sempat bekerja di Bank Mega selama 6 bulan, resign, dan kini menekuni bisnis produksi dan pemasaran batik).

(ya, nama semua anggota keluarga kami melambangkan kebesaran semesta : menembus antariksa dan luasnya samudra, menikmati bintang kejora dan digantara, ditengah padang Gurun yang luas membentang)
An Entrepreneur Family – mungkin ini yang bisa menjelaskan kiprah anggota keluarga kami. Pada akhirnya, mungkin ini impak dari sebuah DNA : gen dan darah kemandirian ekonomi ini mengalir deras dari ibu dan ayah kami (juga dulu dari kakek nenek kami yang semuanya juga wirausaha tangguh).
An Entreprenuer DNA. Ini mungkin jenis genetika yang mesti terus di-semaikan dalam keluarga Indonesia.
Saya sendiri berharap, gen itu yang kelak bisa mengalir pada darah anak dan cucu kami. Sebab pada tahun 2030, ketika ekonomi negeri ini kian menjulang, saya ingin anak-anak saya menjadi wirausaha muda yang tangguh : berlayar merajut kemakmuran demi keluarga dan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar