Sebagai Prolog Akan saya ceritakan sebuah pengalaman dari seorang guru yang berhasil menularkan sebuah virus yang berhasil membuat dunianya menjadi lebih indah dan berwarna.
Dia adalah Bapak Ganjar Triadi Kusuma S.pd, beliau adalah seorang lulusan mahasiswa FIPS-UNNES, yang mengajar disebuah sekolah negeri di kota Semarang. Sedari SMA beliau adalah seorang yang sangat suka dengan tulis menulis,berawal dari kesukaanya terhadap dunia tulis menulis inilah banyak perubahan besar yang terjadi dalam hidupnya. Ada sebuah keajaiban yang luar biasa menghantarkannya kepada sebuah loncatan hidup yang tak pernah sama sekali dia pikirkan sebelumnya.
Jangankan bisa ke Luar negeri, untuk memperoleh penghasilan lebih dari cukup adalah sudah merupakan kebahagiaan tersendiri. Yah..proses itu dimulai dari sebuah kata..”MENULIS”, prestasi terbesarnya adalah mampu menghantarkan anak didiknya beserta dirinya bisa mendapatkan perjalanan Jakarta-Sydney Australia PP,mendapatkan fasilitas lux, dan mendapatkan uang saku setara 10 juta, untuk berlibur selama seminggu di Australia. Dia telah menulis di 30 koran dan majalah di Indonesia. Dari hasil menulisnya ini berhasil memberikan sumbangan berupa materi dan non materi.
Untuk membiasakan suka menulis harus dimulai dari membiasakan semangat mengawali dan mengakhiri dalam menghasilkan sebuah produk tulisan, menegnai persoalan mutu, apakah hasil tulisan itu baik atau kurang baik,janganlah dijadikan persoalan utama karena seiring dengan seringnya latihan, perlahan namun pasti persoalan mutu tulisan akan membaik dengan sendirinya. Begitulah terangnya dalam sebuah sesi tulisannya.
Dia menceritakan kenapa budaya menulis kini menjadi sangat sulit untuk diterapkan pada anak didik? Lalu dia menceritakan sebuah budaya authority masa kini yang sudah sangat jarang sekali menulis ketika memasuki kelas.
“Jika seorang authority memasuki kelas, sejak awal hingga akhir pelajaran tidak mengucapkan sepatah katapun, hanya menulis dan menyampaikan pesan komunikasi pendidikan menggunakan media papan tulis, rasanya ada sesuatu yang janggal. Ada hal aneh dan tidak lazim.Namun sebaliknya, jika seorang authority sejak awal hingga akhir jam pelajaran hanya berbicara, berceramah, memberikan orasi di depan kelas, tanpa sedikitpun menulis di papan tulis, rasanya biasa-biasa saja. Hal itu banyak terjadi di depan kelas.”
Dari uraian di atas dia menggambarkan betapa budaya berbicara dan banyak omong lebih dekat dan lekat dengan siswa-siswi dalam proses pembelajaran. Sedangkan budaya menulis tingkatnya jauh berada dibawahnya. Hal itu terjadi sejak authority mengajar di bangku TK, SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi. Mereka memberikan contoh pembelajaran yang akhirnya membudaya, lebih banyak berbicara dari pada menulis.Kebiasaan itu akhirnya menjadi sebuah budaya di wajah pendidikan kita. Orang lebih banyak berbicara, dari pada menulis. Efeknya orang tidak (terlalu suka) membaca. Apalagi bacaan yang agak berat seperti halnya bacaan buku berisi ilmu pengetahuan ataupun artikel tentang suatu permasalahan dalam kehidupan di masyarakat.Secara tidak sengaja para authority dan para dosen mengajarkan kepada siwa-siswi dan mahasiswanya untuk lebih banyak berbicara dari pada menulis. Maka dunia menulis – dalam pengertian menulis artikel atau tulisan mengandung muatan ilmiah, menjadi demikian jauh. Karena jauh, dianggap sesuatu yang asing, sulit, dan tidak disukai.Untuk mengembalikan sesuatu yang “jauh” tadi, maka harus dilakukan upaya pendekatan-pendekatan. Tidak perlu untuk saling menyalahkan, tidak perlu malu-malu mengakui kekurangan ini. Secara sistematis di semua lini dan jenjang pendidikan harus ditekankan tentang pentingnya siswa-siswi hingga mahasiswa-mahasiswi untuk suka dan terbiasa menulis. Jika sedang TK atau SD sudah terbiasa menulis sesuatu yang nyata di sekitarnya, maka jenjang berikutnya tinggal menyempurnakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar