Proses pembuatan gula pasir
PROSESING NIRA TEBU MENJADI GULA
Proses pembuatan gula pasir atau gula kristal putih di PG pada dasarnya adalah pemisahan sukrosa dari bahan-bahan non-sukrosa, kemudian diikuti dengan proses pengkrisatalan sukrosa. Bahan-bahan lain yang ada dalam nira tebu telah diuraikan pada Bab 3 di atas. Secara umum, sukrosa yang terkandung pada tanaman tebu di Jawa Timur berada pada kisaran 5-12% meskipun untuk kasus-kasus tertentu kadarnya bisa lebih tinggi lagi.
Kandungan
sukrosa dalam tebu tergantung kepada kualitas tebu itu sendiri serta
proses pemerahannya di PG. Umumnya bila kandungan sukrosa dalam tebu
tinggi akan diikuti oleh hasil prosesing yang tinggi juga. Karena itu,
tugas PG sebenarnya bukan membuat gula, tetapi sebatas hanya mengambil
gula. Gula atau sukrosa sepenuhnya dihasilkan oleh tanaman dan disimpan
dalam batang. Namun demikian, tentu saja kinerja PG yang kurang baik
akan berdampak terhadap proses pengambilan gula. Pada PG dengan tingkat
efisiensi rendah, jumlah sukrosa yang terambil akan lebih sedikit
dibanding PG dengan efisiensi baik.
Proses
pembuatan gula pasir di PG meliputi beberapa tahapan, yaitu
penggilingan atau ekstraksi, pemurnian, pemanasan dan evaporasi,
kristalisasi, pemisahan kristal (sentrifugasi), serta pengeringan dan
pengepakan (Gambar 5). Proses penggilingan tebu atau ekstraksi nira
dari tebu diling dilakukan di stasiun gilingan. Proses selanjutnya
mulai dari pemurnian nira hingga pengepakan berlangsung di stasiun
pengolahan. Kinerja PG secara keseluruhan merupakan gabungan antara
kinerja stasiun gilingan dan stasiun pengolahan. Satu stasiun lain yang
berfungsi sebagai sumber energi untuk PG adalah stasiun pembangkit uap.
Tebu
yang diangkut ke PG dimasukkan ke meja tebu, kemudian dicacah dengan
pisau membentuk potongan-potongan kecil. Potongan tebu masuk kedalam
tandem gilingan-3 rol, yang biasanya terdiri atas 4 atau 5 unit gilingan
yang disusun secara seri. Nira yang terekstrak (nira mentah) dari
batang akan jatuh ke bagian bawah gilingan, sementara ampas akan terus
bergerak hingga gilingan akhir. Untuk meminimumkan kehilangan gula yang
terbawa ampas, dilakukan pencucian ampas dengan air (imbibisi)
menjelang ampas masuk ke unit gilingan akhir. Dalam proses penggilingan
yang baik, lebih dari 95% sukrosa tebu akan masuk kedalam nira mintah
dan hanya sedikit yang terangkut ampas.
Kinerja stasiun gilingan dinyatakan dalam mill extraction
(ME). Nilai ini menunjukkan jumlah sukrosa yang berhasil di ekstrak
(dalam nira mentah) dibandingkan terhadap kadar sukrosa dalam tebu.
Semakin tinggi nilai ME, semakin baik kinerja stasiun gilingan. Nilai
ME PG di Jawa Timur rata-rata sekitar 91%. Ini menunjukkan bahwa
pengambilan sukrosa dari tebu yang digiling di PG Jawa Timur baru
mencapai 91% dan menyisakan sekitar 9% di dalam ampas.
PG-PG
di Jawa Timur hanya memiliki satu macam unit gilingan, yaitu unit
gilingan 3 rol yang dilengkapi dengan tekanan hidrolik untuk membantu
pemerahan. Akan tetapi, unit gilingan biasanya dilengkapi oleh
peralatan lain yang bervariasi seperti Donnelly chute, pressure feeder, fourth roller, feeder roller, dan lain-lain.
Ampas
yang keluar dari gilingan akhir mengandung gula yang tidak terekstrak
(terperah), serat-serat selulosa serta 45-55% air. Ampas selanjutnya
dibawa ke boiler (ketel) sebagai bahan bakar. Pada PG yang kelebihan
ampas, ampas digunakan untuk bahan baku pembuatan kertas, particle board, pakan ternak atau produk komersial lainnya.
Tebu
yang masuk ke gilingan sebaiknya memiliki kualitas yang baik atau
memenuhi kriteria manis, bersih dan segar (MBS). Manis artinya tebu
dalam kondisi kemasakan optimal sehingga mengandung banyak sukrosa.
Sukrosa dalam nira biasanya dinyatakan dalam % pol. Nilai pol pada nira
berkualitas baik adalah lebih dari 10%. Bersih berarti tebu bebas dari
trash (daun, sogolan, pucukan, dll.), tanah, dan kotoran lainnya. Kadar trash
dan kotoran pada tebu giling harus dibawah 5%. Tebu segar menggambarkan
bahwa tebu digiling dalam rentang waktu kurang dari 24 jam setelah
ditebang. Tebu yang lambat tergiling bisanya mengandung pati dan
dekstran dalam jumlah banyak sehingga akan menganggu proses pemurnian
dan menurunkan perolehan sukrosa.
Nira
mentah yang dihasilkan dari gilingan umumnya asam dan keruh, sehingga
harus dimurnikan lebih lanjt. Tujuan pemurnian adalah menghilangkan
sebanyak mungkin bahan bukan gula (non sugar),
baik yang tidak larut seperti bagasilo, partikel koloid maupun yang
larut seperti polisakarida, protein, dan koloran (zat warna) sehingga
nira menjadi jernih dan lebih murni. Secara umum, bahan untuk
klarifikasi nira mentah menggunakan susu kapur dan panas. Susu kapur
sekitar 0,5 kg per ton tebu akan menetralisir nira dengan membentuk
garam kapur yang tidak larut (kalsium fosfat). Pemanasan nira yang
tercampur susu kapur akan menyebabkan koagulasi protein, lemak, lilin
dan gum, sehingga bahan-bahan ini akan mengendap ke bawah membentuk
butiran atau partikel.
Nira
yang mengandung susu kapur dinetralkan kembali dengan penambahan sulfat
(sulfitasi) atau karbonat (karbonatasi). Nira selanjutnya dipanaskan
sampai 105°C, ditambah flokulan, terus dialirkan ke clarifier (bejana pengendap) untuk proses pengendapan.
Sebagian
besar PG di Indonesia melakukan proses netralisasi pH nira secara
sulfitasi. Proses pemurnian karbonatasi kurang populer saat ini karena
kendala biaya pengadaan bahan pembantu yang lebih mahal serta
kebutuhan tenaga kerja lebih banyak.
Nira
jernih yang berada di bagian atas bejana pengendap mengalir ke tangki
nira jernih. Endapan yang ada di bagian bawah tangki dipompa ke tangki
nira kotor untuk kemudian ditapis dalam rotary vacuum filter.
Hasil penapisan berupa nira tapis dan blotong. Nira tapis dikembalikan
ke tangki nira mentah, sementara blotong dipisahkan sebagai endapan
pengotor. Nira keruh tidak dapat diolah lebih lanjut karena dapat
menyebabkan pembentukan warna dan masakan menjadi sangat kental, yang
bisa berakibat kepada penurunan perolehan dan kualitas gula.
Sisa
kapur yang masih terbawa ke dalam nira jernih harus diusahakan
sesedikit mungkin. Sisa kapur yang terbawa dapat mendorong pembentukan
kerak pada pipa evaporator. Pada tebu giling yang tidak segar pH nira
biasanya masam sehingga perlu susu kapur lebih banyak. Akibatnya, sisa
susu kapur yang terbawa kedalam nira jernih juga meningkat.
Nira
jernih selanjutnya dibawa ke evaporator untuk diuapkan airnya. Nira
jernih memiliki kadar air sekitar 85% dan mempunyai komposisi yang sama
dengan nira mentah, kecuali bahan-bahan yang telah terendapkan dalam
proses klarifikasi. Evaporator terdiri dari 4 atau 5 bejana silindris
vertical (effects) yang disusun seri. Bejana terakhir dihubungkan
dengan kondensor untuk menghasilkan kondisi vacuum. Penguapan pada
bejana I dilakukan menggunakan uap bekas, pada bejana II menggunakan
uap nira dari bejana I, pada bejana III menggunakan uap nira bejana II,
dan seterusnya. Susunan bejana-bejana seperti diatas tersebut disebut
multiple effect. Sekitar 2/3 dari air yang ada dalam nira diuapkan
dalam alat ini.
Nira
kental yang airnya sebagian besar sudah diuapkan pada evaporator,
kemudian dikristalkan dalam bejana silindris yang disebut pan masak
(Gambar 10). Pan masak adalah suatu bejana vakum dengan bagian
dilengkapi tubular heat exchanger. Bagian atas pan masak merupakan
tempat masakan yang dihubungkan dengan peralatan vakum (kondensor).
Untuk
menghasilkan gula berkualitas baik, brix nira kental harus tinggi agar
proses kristalisasi berjalan efisien dan warna nira kental harus
terang (jernih). Kristalisasi bertujuan untuk mengambil gula dalam
bentuk kristal dari nira kental. Larutan nira kental diuapkan secara
perlahan-lahan dalam bejana vakum, sampai pada tingkat kejenuhan
tertentu. Selanjutnya, bibit gula dalam ukuran tertentu ditambahkan
secukupnya sehingga akan mendorong proses pembesaran kristal sukrosa
dari larutan nira. Kondisi terus dipertahankan dengan cara mengatur
penguapan dan umpan nira kental secara seimbang. Setelah kristal
mencapai ukuran tertentu, penguapan diteruskan hingga mencapai brix
tertentu. Campuran kristal dan larutan gula (mother liquor) dinamai
masakan. Kristal dipisahkan dari mother liquor (sirup) dengan cara
sentrifugasi. Proses masak pada PG-PG di Jawa Timur umumnya dilakukan
secara bertingkat, yaitu: A, C dan D.
Masakan A
Proses
masak tahap pertama dengan menggunakan bahan baku nira mentah dinamakan
masakan A. Bibit gula dalam proses masak A adalah gula hasil proses
masakan C, dengan dengan ukuran kristal sekitar 0,4 mm. Kristal yang
dihasilkan dari proses masak ini disebut gula A dan sirupnya disebut
sirup A. Gula A dicampur dengan air atau klare
dipisahkan dengan mesin sentrifugal menghasilkan gula putih dan larutan
klare. Gula putih selanjutnya dikeringkan dan dikemas sebagai gula
produk.
Masakan C
Didalam
sirup A masih terkandung banyak sukrosa yang belum jadi kristal.
Sukrosa tersebut kemudian diambil kembali melalui proses masak berbahan
baku sirup A atau biasa disebuit masakan C. Pada proses masakan C,
bibit yang digunakan adalah gula D dengan ukuran kristal sekitar 0,2
mm. Proses masak berlangsung sebagaimana pada masakan A, namun karena
kandungan sukrosa pada sirup A sudah menurun, maka kristalisasi pada
masak C butuh waktu lebih lama. Gula C diambil dengn cara sentrifugasi,
sedangkan sirupnya digunakan untuk bahan baku pada masak D.
Masakan D
Masakan
D bisanya menggunakan bahan baku campuran sirop C dan sirup A. Proses
masak D berlangsung jauh lebih lama dibanding masak A, karena tingkat
kemurnian sukrosa bahan yang digunakan rendah. Khusus untuk masakan D,
setelah turun dari bejana masak dilanjutkan dengan kristalisasi lanjut
dengan pendinginan di palung pendingin sampai lebih dari 24 jam. Setelah
dipisahkan di mesin sentrifugal, gula D dilebur kembali dan dicampur
dengan nira kental dan sirup D atau lebih dikenal dengan tetes.
Pemisahan kristal sukrosa dari mother liquor
(tetes atau sirup) yang berasal dari hasil masak A, C dan D dilakukan
dengan menggunakan mesin pemutar kecepatan tinggi atau sentrifus. Ada
dua sistem sentrifuse yang digunakan di PG, yaitu sistem batch
dan kontinyu (Gambar 11). Sistem yang pertama dipakai untuk
memisahkan sukrosa dari masakan A, sedangkan sistem yang kedua dipakai
untuk mengambil sukrosa dari masakan C dan D.
Proses sentrifugasi masakan A akan menghasilkan gula dengan grade yang
tinggi (dulu biasa disebut SHS). Gula yang keluar dicuci dengan air,
kemudian dikeringkan kembali dengan menggunakan uap panas. Gula C dan D
tidak diperlakukan seperti gula A, karena kedua gula tersebut dijadikan
sebagai bibit pada masakan A.
Pengeringan dan Pengemasan
Gula hasil proses sentrifugasi memiliki kandungan air sekitar 1%, sehingga tidak bisa langsung dikemas dan perlu dikeringkan terlebih dulu. Pengeringan gula biasanya dilakukan dalam talang goyang. Talang goyang ini sekaligus juga berfungsi sebagai sortasi ukuran gula. Gula yang sudah kering didinginkan sebentar, kemudian dimasukkan ke dalam karung. Gula hasil sortiran, yaitu yang berukulan terlalu kecil atau kristalnya berdempetan tidak terpisah, selanjutnya dilebur kembali.
Tolok Ukur Kinerja PG
Dalam
proses ekstraksi dan kristalisasi sukrosa di PG yang kemudian
menghasilkan gula pasir dibutuhkan suatu parameter yang bisa dijadikan
ukuran apakah proses tersebut sudah berjalan dengan baik atau belum.
Secara keseluruhan ukuran yang digunakan disebut overall recovery (OR).
OR ini mencerminkan efisiensi PG karena menggambarkan jumlah gula yang
bisa diperoleh dari tebu.
Overall recovery
merupakan hasil kerja gabungan antara stasiun gilingan dengan stasiun
pengolahan. Hasil kerja stasiun gilingan sebagaimana dijelaskan
sebelumnya dinyatakan dalam mill extraction (ME),
yang menggambarkan persentase gula yang berhasil diekstraksi dalam nira
mentah terhadap gula yang terkandung di dalam tebu. Hasil kerja
stasiun pengolahan dinyatakan dalam boiling house recovery
(BHR) yang mencerminkan persentase gula riil yang diperoleh terhadap
gula yang berada dalam nira mentah. Nilai ME, BHR dan OR yang
menunjukkan tingkat efisiensi PG yang tinggi ditampilkan pada Tabel
berikut:
Tabel Nilai ME, BHR dan OR pada PG yang Efisien
Tolok Ukur
|
Nilai
|
ME, %
|
> 96,0
|
BHR, %
|
> 91,0
|
OR, %
|
> 87,5
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar