Penjelajahan walah di wilayah Banyumas akhirnya membawa walah ke salah
satu produk industri rumah tangga yang cukup terkenal dari wilayah ini,
yaitu gula merah yang juga disebut sebagai gula jawa atau gula kelapa.
Gula kelapa hasil produksi Banyumas ini beda banget lho sama gula kelapa
yang biasa dijual di pasar di kota-kota. Gula merah yang dijual di
pasar-pasar kota besar kebanyakan berwarna coklat tua, atau cenderung
kehitaman dan rasanya pun kadang sudah kurang manis bercampur rasa asin.
Gula merah yang ada di kota jika disimpan terlalu lama biasanya berubah
menjadi lembek dan lengket, sedangkan gula jawa produksi banyumas ini
berwarna coklat terang, manisnya asli, dan keras, bahkan setelah lama
disimpan sekalipun. Gula jawa yang masih asli ini, enak banget buat campuran masakan, semisal bacem, dan juga sebagai campuran es kelapa muda atau wedang jahe… hmmmmm.
Cerita
ini bermula dari kakak ipar omnya walah yang meminta tolong buat
memesan gula kelapa untuk dibawa buat oleh-oleh. Walah pun bisa
berkenalan dengan pak Sumin, seorang pengolah gula kelapa yang kebetulan
tinggal ga jauh dari kompleks tempat tinggal omnya walah. Bapak berusia
58 tahun ini pun menyambut gembira keinginan walah buat membuat tulisan
tentang pembuatan gula merah secara tradisional yang sudah dilakoninya selama 41 tahun dan sudah menjadi profesi turun termurun dari orang tuanya dulu.
Proses yang mengawali rangkaian proses pengolahan gula merah ini adalah proses penyadapan. Gula merah ini memang dibuat dari hasil
menyadap pohon kelapa pada pelepah daunnya yang belum mengembang.
Proses penyadapan ini biasanya memakan waktu selama 24 jam, tetes demi
tetes ditampung dalam sebuah wadah bambu kecil yang nanti akan
dikumpulkan lagi dalam wadah bambu lagi yang lebih besar yang disebut
bumbung. Dalam sehari, pak Sumin ini biasa menyadap minimal 30 pohon
kelapa, dan biasanya pohon-pohon ini dikelola dengan sistim sewa, dengan
bayaran gula merah antara 1 – 1,5 kg/pohon per bulan. Hasil sadapan yang
disebut bandek di Banyumas, atau legen di wilayah lebih timur ini ga
tentu jumlahnya. Saat suhu malam hari panas, hasilnya ga akan sebanyak
saat suhu malam hari dingin O iya, bandek yang jadi bahan pembuatan gula
merah ini berwarna putih keruh atau kekuningan. Bisa juga diminum
langsung, atau difermentasikan menjadi tuak, minuman yang mengandung
alkohol.
Bandek atau legen yang sudah terkumpul akan disaring
untuk memisahkan kotoran, kemudian direbus setelah dicampur dengan
larutan air rebusan kulit manggis dan gamping. Air rebusan manggis ini
sekarang banyak digantikan dengan obat kimia yang dijual di toko obat
untuk lebih mempercepat proses pembuatan dan pengeringan
gula merah. Lama perebusan berkisar antara 3-4 jam, tergantung kadar
air yang terkandung dalam bandek. Kandungan air dalam bandek ini
dipengaruhi oleh cuaca. Saat turun hujan, kadar air yang terkandung
dalam bandek menjadi lebih banyak dan membuat proses perebusan akan
memakan waktu lebih lama.
Bandek atau legen ini direbus di atas tungku tanah liat yang menggunakan bahan bakar kayu dan merang (serbuk gergaji). Selama proses perebusan, bandek harus terkadang diaduk supaya tidak luber ke luar. Semakin lama,
bandek akan menjadi mengental dan berubah warna menjadi kecoklatan.
Jika sudah cukup kental, bandek pun diangkat dari tungku untuk dicetak.
Setelah diangkat dari tungku pun, bandek harus terus diaduk sampai
semakin mengental dan siap dicetak.
Calon
gula jawa yang masih berupa cairan kental ini pun akhirnya dituang
menggunakan gayung yang terbuat dati batok kelapa ke dalam
cetakan-cetakan kecil dari bambu yang sudah disiapkan sebelumnya. Proses
penuangan adonan ini pun harus
cepat, karena jika tidak, akan mengeras dan tidak bisa dicetak. Di
Purbalingga, cetakan yang digunakan bukan dari bambu, melainkan batok
kelapa, sehingga bentuk gulanya pun sedikit berbeda. Deretan bambu yang
digunakan untuk mencetak gula kelapa ini pun mengingatkan walah pada cetakan kue putu, walaupun ukurannya emang jauh lebih besar.
Adonan
gula merah ini akan mengeras saat dingin, dan proses ini biasanya
memakan waktu sekitar 10 – 15 menit hingga gula merah sudah cukup
mengeras dan bisa dilepas dari cetakan. O iya, cetakan-cetakan bambu itu
bukan cetakan sekali pakai melainkan dipakai berulang-ulang sehingga harus dicuci setelah dipakai mencetak dan
sebelum dipakai mencetak. Gula merah yang sudah dilepas dari cetakan
ngga akan langsung dikemas, tapi diangin-anginkan dulu supaya
bener-bener kering dan keras. Biasanya proses angin-angin ini memakan
waktu sekitar beberapa jam sehingga kualitas gula jawa dapat terjaga
saat pengemasan dan biasanya, hasil dari penyadapan 30 pohon kelapa itu
menghasilkan 9 – 11 kg gula merah jadi yang biasanya dijual Rp 9200 per
kilonya… wew… ga terlalu banyak yah ternyata hasilnya buat pak Sumin.
Demikian akhirnya walah bisa melihat secara langsung
proses pembuatan gula kelapa secara tradisional di gubug sederhana pak
Sumin. Sebagai perbandingan, keseluruhan proses pembuatan gula merah ini
bisa dibilang nyaris
sama lho dengan proses pembuatan minyak kelapa, tapi bahan bakunya
memang berbeda. Jika gula kelapa menggunakan bandek yang merupakan hasil
penyadapan pelepah daun kelapa, minyak kelapa menggunakan bahan baku
dari santan. Akhir kata, ini menjadi pengalaman baru lagi
buat walah setelah dulu walah juga berkesempatan melihat langsung
proses pembuatan kompia dan pia-pia di Balong, pembuatan karak (kerupuk
gendar) di Bratan, pembuatan sanggul
dan bulu mata palsu di Kutasari, dan pembuatan instrumen gamelan di
Mojolaban yang keseluruhannya masih dikerjakan secara manual. Sungguh
satu pengalaman menarik yang bisa walah share buat teman-teman Empiyer
yang belum berkesempatan melihat secara langsung. Tunggu cerita walah selanjutnya saat melihat langsung pembuatan getuk goreng khas Sokaraja yah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar